Jakarta–GeRal: Keterbatasan ruang dan lahan tak menyurutkan masyarakat urban untuk mewujudkan ketahanan pangan, terlebih di masa pandemi Covid-19. Atap masjid pun bisa dimanfaatkan untuk bertani sayuran.
Adalah Sofyan (47 tahun), seorang jemaah Masjid Baitussalam Jakarta Barat. Tak mau berdiam diri selama pandemi, ia mengajak keenam jemaah lainnya untuk menginisiasi pertanian hidroponik. Mereka memanfaatkan atap masjid seluas 200 meter persegi.
Tujuannya agar mereka dan jemaah masjid lainnya bisa tetap menghasilkan meski di tengah kondisi sulit.
Maklum, di saat pandemi melanda banyak orang kehilangan pekerjaan atau menganggur, termasuk di lingkungan masjid Baitussalam. Sofyan sendiri merupakan pekerja di bidang jasa pengurusan paspor yang otomatis sangat terdampak dengan adanya pandemi seiring menurunnya bisnis pariwisata.
Atas izin Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), mereka mengajak warga sekitar masjid untuk bertani dengan menggunakan sistem hidroponik.
“Bukan hanya untuk menambah pendapatan tapi juga untuk mengisi waktu,” kata Sofyan yang didapuk sebagai Ketua Kelompok Masjid Baitussalam Farm (MB Farm).
Dialah yang kemudian mengatur para petani yang jumlahnya 15 orang itu untuk bergantian merawat tanaman hidroponik.
Mereka memilih bercocok tanam dengan sistem hidroponik karena dianggap paling mudah dan tidak memerlukan biaya besar. Sayuran juga cepat dipanen.
Saat ini, telah ada enam sistem hidroponik di atap masjid dengan total lebih dari 2.000 lubang yang dapat ditanami sayur caisim, pakcoy, kangkung dan selada.
Awalnya, para petani yang aktif di MB Farm ini tak memiliki pengetahuan sama sekali tentang hidroponik, mereka belajar dari internet dan mempraktekannya langsung di atap masjid.
“Pasti lah ada kegagalan, pas penyemaian kurang maksimal, pakai nutrisi atau pakai air, dan lain sebagainya,” katanya menceritakan, sebagaimana dilansir BBC.
Menurutnya, kendala yang sering dihadapi selama ini adalah cuaca seperti hujan dan angin kencang yang bisa merusak tanaman.
Saat ini mereka sudah bisa memanen sayuran sekitar 30 kilogram sekali panen. Sayuran yang mereka hasilkan dipastikan lebih sehat karena bersifat organik dan bebas pestisida serta higienis.
Awalnya, hasil panen hanya dikonsumsi untuk kalangan jemaah tapi setelah hasilnya lumayan banyak mereka mencoba menjualnya.
Para petani memasarkan sayuran tersebut dengan berbagai cara, mulai dari mulut ke mulut, menggunakan media sosial, hingga lewat toa masjid seperti pada saat salat Jumat.
Setiap dua minggunya MB Farm telah bisa memproduksi sekitar 10-20 paket sayuran organik. Paket-paket ini masing-masing dijual seharga Rp10.000 dengan berat sekitar 400 gram.
Namun sayangnya, harga tersebut masih dianggap mahal oleh konsumen yang belum terbiasa dengan produk organik. Karena itu ke depan mereka berencana menyasar market menengah atas lewat supermarket.
Saat ini, target pasar mereka masih sebatas masyarakat sekitar masjid seperti pedagang sayur eceran, pedagang bakso, mie ayam, dan sebagainya, tentu dengan harga yang murah.
Meski belum bisa mencukupi ekonomi para petaninya, setidaknya hasil pertanian atap masjid tersebut sudah bisa membiayai operasional masjid seperti biaya air wudhu, dan sebagainya. “Untuk petaninya, sementara baru cukup untuk uang jajan saja,” kata Sofyan. Namun begitu mereka mengaku ikhlas, karena tujuan utamanya adalah untuk memakmurkan masjid mereka. (imt)